Wajib Tahu, Ini 5 Etika Makan Versi Suku Bugis

Ilustrasi-Freepik Ilustrasi-Freepik

Apakareba: Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya yang memiliki adat istiadat berbeda satu sama lain. Adat istiadat merupakan warisan leluhur yang melekat hingga sekarang. 

Di sisi lain, adat istiadat ini kemudian menjadi sebuah aturan tak tertulis dan bagian dari norma suatu masyarakat. Tingkah laku seseorang bisa dinilai dari perangai dan kepatuhannya pada adat istiadat.

Banyak hal yang diatur dalam adat istiadat, mulai dari ritual keagamaan, pesta pernikahan, hingga adab bertetangga. Bahkan tak tanggung-tanggung, Suku Bugis, Makassar, yang berdiam di Sulawesi Selatan juga memiliki tata krama yang berlaku saat menyantap makanan.

Semuanya sarat akan makna dan hingga kini masih setia diajarkan secara turun-temurun. Lantas, apa saja etika makan versi Suku Bugis?

1. Jangan menolak sajian dari tuan rumah saat bertamu

Dalam adat Bugis, jika seseorang hendak bertamu dan tuan rumah menawarkan makan, tamu tak boleh menolaknya. Sekalipun sedang terburu-buru, tamu setidaknya mencicipi sedikit hidangan yang ditawarkan. Entah itu berupa makanan, kue, atau minuman.

Banyak yang masih percaya, jika tak memakan sajian dari si empunya rumah bisa mengundang bala di tengah perjalanan. Ini berasal dari sebuah amanah leluhur Bugis yang berbunyi :

"Pemmali saleiwi inanre iyarega uwae pella iya purae ipatala nasabaq mabisai nakenna abalaq"

Artinya: "Dilarang meninggalkan makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena bisa mengundang bencana"

Sejatinya, menyantap sajian yang dihidangkan tuan rumah merupakan cara tamu menghargai pemilik tempat.

2. Prioritaskan tamu atau orang yang berusia lebih tua

Bagi masyarakat Bugis Makassar, orang tua dalam keluarga atau orang dengan umur uzur (tomatoa) adalah kelompok yang harus dihargai. Ini tak lepas dari pandangan umum, mereka telah menelan asam-garam kehidupan, sehingga dari mereka-lah generasi yang lebih muda bisa belajar.

Penghargaan pada tomatoa juga dibawa ke atas meja makan. Mereka disuguhi hidangan lebih dulu, dipersilakan memilih makanan yang tersedia dan harus menjadi orang yang paling terakhir selesai makan. Ini dilakukan untuk menjaga suasana, sebab dianggap tak sopan jika semeja dengan mereka dan lebih dulu selesai makan. Bahkan jika orang berusia lebih tua ini sengaja menambah makanan pada piring yang lebih muda, makanan tersebut harus dihabiskan.

Tak cuma kepada tomatoa, masyarakat Bugis juga melakukan hal ini kepada tamu yang berkunjung. Semuanya berasal dari budaya "sipakatau" yang bermakna "memanusiakan manusia."

3. Jangan menyisakan makanan

Menyisakan makanan (mubazir) adalah hal yang paling tidak disukai banyak orang tua masyarakat Bugis. Hal tersebut dianggap menyia-nyiakan pemberian Tuhan. 

Maka dari itu, aturan ini diterapkan secara ketat kepada anak-anak. Sejak kecil, semuanya diajari untuk menaruh nasi dan lauk yang kira-kira bisa dihabiskan. 

4. Makan bersama jadi hal yang wajib

Masyarakat Bugis menganggap meja makan sebagai tempat merekatkan hubungan keluarga atau pertemanan. Percakapan sebelum, saat, dan setelah menyantap makanan dinilai sangat membantu satu sama lain untuk saling mengenal lebih dalam.

Bagi keluarga, percakapan di meja makan adalah sarana mendekatkan diri dan mengetahui hari-hari anak tercinta atau pasangan. Semua bermuara pada kehidupan harmonis dan rukun satu sama lain.

Masyarakat Bugis meyakini orang-orang yang makan bersama di satu meja tidak akan saling menyakiti. Hal itu berangkat dari anggapan makan bersama adalah bentuk membangun rasa percaya dengan yang diajak.

5. Peralatan makan saat lesehan dan untuk tamu

Etika ini mengacu pada sistem tataran teknis. Semua lauk pauk dan sayuran diusahakan terkumpul dalam satu tatakan besi yang biasa disebut "kappara" (baki). Sedangkan wadah untuk nasi berada di luar kappara. Ini lazim dilakukan dalam situasi makan lesehan, utamanya saat ada hajatan.

Umunya tamu atau orang tua diberi piring dan alat makan yang paling bagus. Adat Bugis sendiri mengenal "bosara", sebuah piring satu kaki dengan tudung saji khusus (biasa disebut pattongko') berisi kue-kue yang diletakkan dekat dari pengisi barisan kehormatan sebuah acara. (Raissa Oktaviani)



(RAI)

Berita Lainnya