Selain Laki-Laki dan Perempuan, Ada 3 Gender Lainnya yang Diakui Suku Bugis

Foto: Pexels.com Foto: Pexels.com

Apakareba: Di dunia ini, normalnya masyarakat hanya mengakui dua   peran gender, yakni feminin dan maskulin. Dua kategori tersebut menggambarkan persepsi masyarakat yang mengacu pada peran, perilaku, ekspresi, dan identitas dari seseorang. 

Tetapi, apakah kamu tahu, ternyata suku Bugis mempercayai adanya tiga gender selain laki-laki dan perempuan lho. Kepercayaan ini tentunya sangat unik, karena berbeda dengan dua kategori gender yang diakui di dunia. Lantas, gender apa saja ya yang dipercayai masyarakat Bugis? Yuk, simak penjelasannya!

Ketika kita mengangkat tangan dan melihat ke arah jemari, pasti yang terlintas dalam pikiran kita adalah nama dari kelima jemari tersebut, yakni jempol, telunjuk, jati tengah, jari manis, dan kelingking. Namun, ternyata suku Bugis melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda.

Mereka mengartikan jempol sebagai bura’ne (laki-laki), kelingking sebagai makunrai (perempuan), telunjuk sebagai calabai (waria), jari manis sebagai calalai, dan jari tengah untuk bissu. Dilansir dari berbagai sumber, berikut penjelasan lebih rinci terkait kelima gender yang sudah disebutkan.

1. Bura’ne (laki-laki)

Dalam bahasa Bugis, bura’ne artinya laki-laki. Setiap laki-laki dituntut untuk tampak maskulin dan tegas. Sosok laki-laki di sebuah keluarga juga diposisikan sebagai nakhoda dan merupakan orang yang bertanggung jawab penuh dalam menafkahi keluarganya. Tentu, diperlukan seseorang yang kuat, baik fisik maupun mental untuk bisa dikatakan sebagai laki-laki sejati.

2. Makunrai (perempuan)

Makunrai merupakan sebutan untuk perempuan dalam bahasa Bugis. Kata Makunrai diambil dari busana rol ala wanita yang disebut unre. Dalam suku Bugis, figur perempuan sangatlah dihargai dan dianggap sebagai martabat keluarga.

Atas dasar tersebut, masyarakat Bugis memiliki tradisi uang panai. Tradisi ini menuntut seorang laki-laki untuk mengeluarkan uang panai atau mahar ketika ingin menikahi seorang perempuan. Nominal dari uang panai pun beragam, tergantung dari status sosial sang perempuan yang ingin dinikahi.

3. Calabai

Kalau dua gender sebelumnya masih umum didengar, sekarang kita akan membahas mengenai calabai. Calabai merupakan orang yang dilahirkan dengan kondisi biologis laki-laki, tetapi dalam kehidupan sehari-harinya berperilaku seperti perempuan. Kalau dalam bahasa sehari-hari mungkin kita menyebutnya sebagai waria.

Terlepas dari itu semua, orang yang memiliki gender ini tidak menganggap dirinya sebagai perempuan. Masyarakat Bugis pun tetap menganggap mereka sebagai laki-laki.

Di tengah masyarakat Bugis, calabai memiliki peran tersendiri, khususnya saat pernikahan. Mulai dari mengurus riasan pengantin, mengatur dekorasi tenda/gedung, hingga mempersiapkan makanan bagi para tamu undangan. Hal inilah yang membentuk kepercayaan masyarakat Bugis kepada calabai secara tidak langsung.

4. Calalai

Kalau tadi Calabai merupakan seseorang yang terlahir dengan kondisi biologis laki-laki tapi keseharian berperilaku sebagai perempuan, calalai merupakan kebalikannya. Calalai adalah orang yang terlahir dengan kondisi biologis perempuan, tetapi dalam kesehariannya berperilaku seperti laki-laki. 

Mungkin istilah sehari-hari yang menggambarkan seseorang sebagai calalai adalah tomboi. Meskipun begitu, calalai tidak pernah berharap menjadi seorang laki-laki. Masyarakat pun melihat mereka sebagai laki-laki.

5. Bissu

Terakhir adalah bissu. Berbeda dengan yang keempat gender yang terlah disebutkan sebelumnya, bissu merupakan campuran dari semua gender. Apabila seseorang ingin menjadi bissu, ketika ia terlahir sebagai seorang laki-laki, maka dia harus berkepribadian perempuan, begitu pun sebaliknya.

Bissu dianggap sebagai gabungan dari semua gender yang ada. Mereka juga dikatakan tidak tertarik kepada laki-laki maupun perempuan. Dalam suku Bugis, bissu memegang peranan penting dan terhormat. 

Dahulu, saat Sulawesi Selatan masih berbentuk kerajaan, bissu dipercaya untuk menjaga pusaka kerajaan. Mereka juga disebut sebagai figur spiritual yang menghubungkan manusia dengan dewa.

Adapun sebelas syarat untuk menjadikan seseorang sebagai kepala bissu atau puang matoa, yakni sebagai berikut:

- Memiliki ilmu tingkat tinggi
- Bissu harus bisa berkomunikasi dengan roh leluhur atau memiliki indra keenam
- Memiliki kesaktian, seperti menghentikan atau mendatangkan hujan
- Jadi suri tauladan
- Pandai mengambil keputusan
- Mampu memelihara pusaka
- Orang yang dituakan di masyarakat
- Cepat mengambil kesimpulan
- Tidak boleh meninggalkan rumah arajang, kecuali ada hubungannya dengan ritual adat
- Perintah puang matoa tidak boleh ditolak, selama ada hubungannya dengan ritual bissu
- Puang matoa hanya bisa digantikan puang lolo untuk urusan adat di luar rumah arajang.

Sampai sekarang, komunitas bissu di Sulawesi Selatan masih ada, tetapi tidak sebanyak dahulu. Dengan berkembangnya zaman, jumlah bissu akan semakin berkurang karena seringkali mereka disebut sebagai waria. 

Padahal, bissu sudah ada sejak zaman kerajaan dan merupakan orang yang terhormat. Bagaimana tidak? Dahulu mereka merupakan orang kepercayaan raja dan hanya orang-orang terpilih yang bisa menjadi bissu.

Lima gender yang dipercayai oleh masyarakat Bugis ini menunjukkan bahwa Indonesia memang kaya akan tradisi yang mengamalkan nilai-nilai tertentu. Adat istiadat seperti ini sebaiknya tetap dilestarikan selama arahnya tetap baik. Bukan berarti karena tidak sesuai dengan pandangan kalian, maka tradisi tersebut harus dimatikan. Bagaimana menurut kalian?



(SYI)

Berita Lainnya