Mengenal Varian E484K, Disebut Dapat Pengaruhi Efikasi Vaksin

Ilustrasi/Medcom.id Ilustrasi/Medcom.id

Apakareba: Mutasi virus korona E484K sudah memasuki wilayah Indonesia. Juru Bicara Kementerian Kesehatan untuk Vaksinasi Covid-19, Siti Nadia Tarmizi, menyebutkan satu kasus varian E484K ditemukan di DKI Jakarta. 

Siti memastikan pasien yang terpapar mutasi virus tersebut tidak memiliki riwayat perjalanan dari luar negeri. "(Pasien) penduduk DKI Jakarta, tidak ada riwayat perjalanan luar negeri," ujar juru bicara vaksinasi covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi kepada Medcom.id, Selasa, 6 April 2021.

Mutasi virus tersebut, menurut Nadia, dialami oleh pasien secara alami. Terdapat potensi pasien terjangkit virus bukan dari penularan.

"Karena pada dasarnya virus itu mampu bermutasi," ujar Nadia.

Lantas, apa yang perlu kita ketahui mengenai mutasi E484K? Berikut fakta-fakta seputar mutasi baru covid-19 yang kasusnya sudah ditemukan di Indonesia. 

1. Bukan varian baru 

Dilansir dari The BMJ, mutasi E484K bukanlah varian baru virus korona. Melainkan mutasi yang terjadi pada varian berbeda yang telah ditemukan pada varian Afrika Selatan (B.1.351) dan Brasil (B.1.1.28). 

Eek, sebutan varian virus baru itu, mengalami mutasi pada protein lonjakan (spike). Akibatnya, kemungkinan kondisi itu akan berdampak pada respons kekebalan tubuh dan kemanjuran vaksin.

2. Di mana E484K pertama kali ditemukan?

Mutasi E484K pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan. Saat ini, mutasi virus tersebut juga sudah menyebar cepat di Inggris. 

Public Health England (PHE) menyebutkan pihaknya telah mengidentifikasi 11 kasus varian B1.1.7 Inggris yang membawa mutasi E484K. Belasan kasus ini ditemukan di sekitar wilayah Bristol. Sementara, sebanyak 40 kasus virus SARS-COV-2 asli yang membawa mutasi E484K yang sama ditemukan di wilayah Liverpool. 

Tentunya, situasi itu perlu diredam. Pejabat kesehatan masyarakat pun meningkatkan pelacakan kontak, analisis laboratorium, dan pengujian di area-area yang ditemukan mutasi Eek. 

3. Sudah menyebar ke Jepang

Sekitar 70 persen pasien covid-19 yang dites di rumah sakit di Tokyo, Jepang, bulan lalu, diidentifikasi membawa mutasi E484K. Eek ditemukan pada 10 dari 14 orang yang dinyatakan positif terpapar covid-19 di Tokyo Medical and Dental University Medical Hospital pada Maret 2021.

Selama dua bulan terakhir, mutasi ini ditemukan pada 12 dari 36 pasien covid-19. Seluruh pasien disebutkan tidak pernah bepergian ke luar negeri ataupun memiliki kontak dengan pasien yang terpapat E484K. Hal ini seperti dilansir dari Reuters.

4. Mempengaruhi kekebalan tubuh

Mutasi E484K disebut juga sebagai escape mutation. Hal ini dikarenakan mutasi itu dapat membantu virus melewati pertahanan kekebalan tubuh. 

Peneliti dari University of Cambridge, Ravindra Gupta bersama rekannya, menyebutkan kombinasi antara B.1.1.7 dengan E484K secara substansial dapat meningkatkan jumlah antibodi serum yang diperlukan untuk mencegah infeksi sel. Tentunya, kombinasi ini diperkirakan bisa jauh lebih mematikan dibandingkan varian sebelumnya.

Seorang ahli virologi sekaligus profesor onkologi molekuler dari Warwick University, Lawrence Young, juga mengungkapkan kekhawatirannya. Kemungkinan E484K dapat menginfeksi kembali orang-orang yang sebelumnya telah terinfeksi bentuk asli virus dengan lebih efisien.

“Hal ini mungkin terjadi, sebagian, karena mutasi E484K dapat melemahkan respon imun dan juga mempengaruhi umur panjang dari respons antibodi penetral. Jadi, varian B.1.1.7 yang membawa mutasi E484K mungkin lebih efisien saat terinfeksi ulang,” kata Lawrence. 

5. Pengaruhnya terhadap vaksin

Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa vaksin masih bekerja melawan varian B.1.1.7 Inggris tanpa mutasi E484K. Tetapi, uji klinis yang baru-baru ini dilakukan oleh Novavax dan Johnson & Johnson menunjukkan vaksin mereka kurang efektif di Afrika Selatan ketimbang di Inggris ataupun Amerika Serikat. 

Hal ini kemungkinan terjadi karena ada virus yang membawa mutasi E484K. Kabar baiknya, Novavax melaporkan vaksin buatannya memiliki kemanjuran sebesar 60 persen di Afrika Selatan, setara dengan vaksin influenza. 

Terlepas dari itu semua, para ilmuwan mengatakan bahwa vaksin dapat didesain ulang dan disesuaikan untuk melawan varian baru dalam hitungan bulan. Misalnya, Tim Oxford AstraZeneca mengumumkan pihaknya sedang meng-update vaksin mereka agar lebih efektif melawan mutasi baru dan dapat diproduksi pada musim gugur.



(SYI)

Berita Lainnya