Ekosistem Kampus Jadi Garda Terdepan Cegah Kasus Remaja Bunuh Diri

Ilustrasi masalah kesehatan mental (ANTARA/Shutterstock/Olivier de Moal) Ilustrasi masalah kesehatan mental (ANTARA/Shutterstock/Olivier de Moal)

Psikolog Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Gina Anindyajati, SpKJ menuturkan bahwa ekosistem kampus perlu mempunyai kepekaan atas risiko bunuh diri yang dapat menyerang mahasiswa. Serta, diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam mencegah kasus bunuh diri.
 
“Pihak kampus perlu mengembangkan kepekaan terhadap risiko bunuh diri yang cukup tinggi pada populasi remaja usia transisi. Ada begitu banyak adaptasi yang perlu dilakukan oleh mahasiswa selama menjalani kehidupan kampusnya, sehingga perlu juga disiapkan sistem dukungan yang mumpuni oleh kampus,” jelas dr. Gina, dikutip dari Antara, Sabtu, 15 Oktober 2022.
 
Ia juga mengungkapkan bahwa mengembangkan kampus yang aman dan nyaman, baik secara fisik maupun mental juga dirasa penting. Sehingga, para peserta didik bisa terbebas dari berbagai risiko kekerasan. Di mana ini merupakan hal lain yang menjadi faktor risiko utama masalah kesehatan jiwa.

Tidak hanya itu, dr. Gina juga menuturkan, setiap kampus mempunyai sistem pendampingan berlapis, mulai dari pendampingan sebaya, mentor akademik, sampai layanan kesehatan jiwa formal.
 
“Sebaiknya setiap kampus memiliki program layanan kesehatan mental yang dapat diakses secara bebas oleh mahasiswa, mulai dari pembekalan saat maba (mahasiswa baru) maupun pendampingan selama masa kuliah,” kata dr. Gina.
 
Kampus juga bekerja sama dengan stakeholders terkait guna menciptakan lingkungan kampus yang aman. Serta meminimalkan akses kepada alat yang berisiko digunakan untuk mengakhiri hidup.
 
Upaya pencegahan bunuh diri di lingkungan akademis juga tak hanya dilakukan oleh pihak kampus. Melainkan, teman-teman di lingkungan perguruan tinggi juga mempunyai peran penting dalam usaha pencegahan itu.
 
“Sebagai teman, maka kita perlu belajar peka dengan keadaan orang sekitar kita, termasuk menangkap ungkapan yang mengarah pada ketidaknyamanan, apalagi ide untuk mengakhiri hidup,” imbuhnya.
 
Ada juga sikap yang bisa ditunjukkan sebagai teman. Di antaranya adalah mendengarkan tanpa menghakimi, berusaha memahami posisi yang bercerita, mendukung teman itu untuk mencari pertolongan, dan berperan secara aktif menemani jika dibutuhkan.
 
Menurutnya, kehadiran seseorang secara utuh (tanpa ada distraksi atau selingan) mempunyai makna yang besar bagi orang yang sedang membutuhkan dukungan. Maka dari itu, perlu juga menyiapkan diri sebelum memberikan pertolongan.
 
“Pastikan kita dalam kondisi yang cukup mampu untuk membantu. Kita juga bisa belajar menjadi penolong dengan mengikuti berbagai kegiatan seminar yang marak diselenggarakan selama pandemi ini,” lanjutnya.



(SUR)

Berita Lainnya