Mengenal Desa Tanpa Listrik di Kabupaten Bulukumba

Ilustrasi/Dok MI Ilustrasi/Dok MI

Apakareba: Energi listrik merupakan salah satu jenis energi utama yang sangat lekat dengan kehidupan manusia di penjuru dunia. Hampir semua perangkat yang dimiliki oleh seseorang pasti membutuhkan energi satu ini. 

Energi listrik bisa diibaratkan sebagai udara yang terus dihirup manusia untuk terus hidup. Tanpa listrik, seluruh aktivitas manusia bisa terhambat. 

Misalnya, saat Perusahaan Listrik  Negara (PLN) melakukan pemadaman di suatu daerah, pasti produktivitas di sana akan menurun. Selain itu, keluhan juga akan membanjiri layanan telepon PLN. Hal itu membuktikan bahwa manusia sangat bergantung akan listrik.

Uniknya, salah satu desa di Kabupaten Bulukumba memilih untuk melawan arus. Bisa dibilang, kehidupan masyarakat di sana tidak pernah tersentuh oleh modernisasi.

Desa tersebut adalah Desa Adat Ammatoa. Desa yang berlokasi di Desa Tana Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, itu sebagian besar merupakan kawasan hutan. Nama Ammatoa itu sendiri merupakan sebutan bagi kepala adat Suku Kajang.

Tidak ada seorang pun di sana yang memiliki benda elektronik, seperti televisi, telepon seluler, maupun radio. Bahkan, listrik juga tidak mengalir ke desa tersebut.

Kendaraan juga tidak bisa memasuki daerah permukiman masyarakat di Desa Ammatoa. Sebab, akses jalan menuju desa itu masih didominasi bebatuan.

Bentuk rumah-rumah di sana juga tidak seperti rumah pada umumnya. Rumah penduduk di desa itu berbentuk panggung memanjang yang terbuat dari kayu. Rata-rata warga setempat juga memiliki hewan peliharaannya masing-masing.

Terdapat keunikan lain yang menghiasi Desa Ammatoa. Anak-anak sekolah dasar (SD) di sana menggunakan baju putih dan bawahan hitam sebagai baju seragamnya. Sangat berbeda dengan seragam anak SD pada umumnya.

Terdapat makna di balik warna hitam yang digunakan pada seragam anak-anak SD di desa itu. Warna hitam merupakan warna khas dari masyarakat setempat. Bagi mereka, hitam menggambarkan kehidupan. Dari gelapnya rahim di kandungan ibu, kembali ke gelapnya liang kubur saat meninggal.

Tak hanya untuk sekolah, warna hitam juga menjadi warna pakaian warda desa dalam kesehariannya. Mulai dari sarung, baju, celana, hingga penutup kepala.

Wah, unik sekali ya teman-teman! Kalau kalian ingin mencoba untuk kembali ke zaman sebelum ada listrik seperti sekarang ini, langsung saja kunjungi Kampung Naga ya. Mungkin saja kalian lebih suka tinggal di sana..
 



(SYI)

Berita Lainnya